IF YOU FORGET ABOUT ME
disclaimer : this story is 100% fiction, bxb, mlm, cw // mention of dementia, angst.
Dering dari sebuah reminder mengalihkan atensi Heeseung yang sedang berkutat dengan berkas-berkasnya. Tangannya terulur meraih ponselnya, mematikan dering tersebut dan melihat remindernya.
Happy Anniversary.
Heeseung tersenyum saat membaca nya. Segera ia merapikan semua berkas dimejanya, lalu meraih jas nya yang tergantung di tempat pengait jaket, memakai sedikit tergesa dan terburu-buru keluar dari kantornya.
“I’ll be back later, please tell me if anything happens, Hana.”
Hana — sekretarisnya mengangguk. “Okay pak, salam buat pak Jake.”
Heeseung mengangguk. Kembali ia lanjutkan langkahnya menuju parkiran. Sebelum benar-benar pergi, Heeseung mengatur napasnya terlebih dahulu. Diliriknya photo sang suami yang sengaja ia simpan didalam mobil, sebagai pengingat bahwa pada pukul 4 sore, setiap hari, ada sang suami yang menunggunya, Heeseung tidak lelah melakukan rutinitas ini sebenarnya, ia hanya merasa jauh semakin hari dengan suaminya. Semuanya terasa asing baik itu bagi Jaeyun ataupun untuknya sendiri.
Heeseung segera menepis perasaan gelisah nya. Menyalakan mesin mobil. Ia berniat pergi ke toko bunga terlebih dahulu. Membeli satu buket bunga tulip putih. Kesukaan Jaeyun. Bunga itu juga dibawanya keatas altar saat mereka mengucapkan janji suci.
Lonceng toko bunga berbunyi begitu Heeseung membuka pintu, membuat pemilik melihat kearahnya, tersenyum. “Hari ini banyak yang beli tulip, tenang, sudah saya simpan untuk bapak.”
Heeseung tersenyum. “Terimakasih, Sora.”
Bunga Tulip itu di bungkus dengan rapih oleh Sora menggunakan kertas coklat yang diberi pita putih. Sora memberikan kartu ucapan yang masih kosong kepada Heeseung agar sang empu bisa menuliskan pesannya.
Heeseung mengeluarkan pulpen dari saku jas nya. Langsung ia menulis kata-kata yang hampir setiap hari ditulisnya, ia sudah hapal di luar kepala kata-kata itu, tinggal ditambahkan sedikit kata lainnya.
Jaeyun, bunga ini dari Lee Heeseung, suami kamu. Happy anniversary, today is our 19th wedding anniversary. I hope you remember this, darling. I love you more than anything. I love you until I can’t be by your side anymore. Please, don’t forget about me. About us. I love you. Please remember that i will always love you, Sim Jaeyun.
Sincerely,
Your Husband, Lee Heeseung.
Heeseung memejamkan matanya terlebih dahulu begitu sudah sampai di parkiran rumah sakit. Mengatur diri, berusaha mengendalikan dirinya. Setelah dirasa sudah siap, ia merapikan tampilannya sedikit, lalu tersenyum pada pantulan dirinya sendiri di kaca spion nya. Dibukanya dashboard mobil, untuk ia ambil parfum dan semprotkan di beberapa titik tubuhnya. Lalu, setelah itu, ia meraih buket bunga yang sudah dibeli tadi.
Ia bersenandung kecil di sepanjang lorong rumah sakit. Membungkuk hormat ke arah beberapa suster atau dokter yang menyapa karena sudah kenal dirinya. Heeseung melirik ke arah arlojinya, berlari kecil ketika sadar ia sudah terlalu membuang-buang banyak waktu. Tidak ingin membuat Jaeyun nya menunggu. Ia juga sudah tidak sabar ingin melihat suaminya.
Langkahnya melambat ketika sampai di kamar rawat Jaeyun. Di depan kamar rawat itu bertuliskan ‘Mr.Sim’. Heeseung mengintip sebentar ke dalam kamar rawat, tersenyum begitu melihat Jaeyun sedang bersama perawatnya. Sang suami sedang memejamkan mata sambil mengenakan headphone.
Heeseung mengetuk pintu dengan pelan, lalu membukanya membuat Jaeyun dan perawat Soyun melihat kearahnya. Ia tersenyum kearah mereka berdua.
“Welcome back, mr.lee,” sapa perawat Soyun sembari menghampirinya. “Mr.sim hari ini sudah… tidak bisa membaca buku lagi, ia sudah kebingungan dengan kata-kata yang ada di buku itu, tetapi saya sudah memutarkan rekaman suara anda, ia mendengarkan itu hampir seharian, jadi… saya rasa mr.sim akan familiar dengan suara anda.”
Heeseung melihat kearah Jaeyun yang sekarang sudah melepaskan headphone, menatapnya penuh tanya. Tangan Jaeyun memegang kuat tape rekaman. “Baik, terimakasih, Ms. Soyun, sudah menjaga Jaeyun hari ini.”
“Itu tugas saya, mr.lee.” Perawat Soyun tersenyum. “Kalau begitu, saya permisi, kalau ada apa-apa, panggil saya, saya ada diluar.”
Perawat Soyun beranjak pergi. Heeseung mengucapkan terimakasih sekali lagi. Setelah hanya ada mereka berdua, Heeseung melihat kearah Jaeyun yang masih menatapnya dengan tatapan yang sama. Melihatnya terkadang membuat hati Heeseung tercubit, tetapi ia sudah menerima keadaan ini, ia selalu berusaha dengan cepat menepis perasaan itu dan akan menyapa Jaeyun seperti biasanya.
“Siapa?” tanya Jaeyun begitu Heeseung baru saja akan membuka mulutnya untuk berbicara.
Heeseung tersenyum. “Aku Heeseung.”
Kedua mata Jaeyun terbelalak. Ia menunjuk ke arah tape recorder di tangannya. “I know you… you’re my husband, right?”
Heeseung tertawa kecil. “Yes, I am.” Ia berjalan mendekat kearah Jaeyun, lalu duduk disebelah bangsalnya. “Do you remember me now?”
“Of course! Aku udah dengerin ini beberapa kali.” Jaeyun tertawa. “Aku kira ini audiobook, karena narasinya indah sekali, tapi katanya ini kisah aku, sebenarnya aku nggak yakin ini kisah aku karena… aku nggak ingat sama sekali pernah ngalamin ini — ah tapi ada satu bagian yang buat aku merasa familiar, itu! aku bawa bunga itu waktu jalan di altar, kan? itu tulip putih kan?” Jaeyun menunjuk ke arah buket bunga tulip putih di tangan Heeseung.
Heeseung menyodorkan buket bunga itu ke arah Jaeyun. “For you, happy anniversary, love.”
“Our anniversary?” Jaeyun memeluk buket bunga itu. “So we’ve been married for nineteen years then?”
Heeseung mengangguk. Dia memegang tape recorder yang berada di pangkuan Jaeyun. “Yes, it’s been nineteen years, love,” ucapnya dengan lirih, suaranya terdengar tercekat, keduanya matanya mendadak berembun.
“Wow, happy anniversary, Heeseung.” Jaeyun semakin erat memeluk buket bunganya. Ia tersenyum. “Do you still love me, Heeseung?”
Heeseung mengangguk, kemudian meraih tangan Jaeyun untuk ia genggam dengan lembut. “Yes, I will always love you Jaeyun, forever.”
Jaeyun tersenyum mendengar ucapan Heeseung. Meskipun beberapa menit kemudian ia akan melupakan ini semua dan membuat Heeseung harus mengucapkannya lagi.
“Who are you? What are you doing in my room?” Jaeyun melepaskan tangan nya yang sedang digenggam oleh Heeseung. Ia melihat sekitar ruangannya. “Where’s Heeseung? he’s my husband, I remember that he will comeback and bring some cookies for me because he knows that I have a bad day, and we will do a slow dancing and — ”
Air mata Heeseung yang sedari ia tahan pada akhirnya terjatuh. Dunia seakan mendadak sunyi ketika ia mendengar Jaeyun menceritakan momen mereka sekitar 8 tahun yang lalu. Saat semuanya masih baik-baik saja. Saat mereka berdua merasa semesta menghujani mereka dengan kebahagiaan dan cinta yang tiada akhir. Ketika Jaeyun… masih mengingatnya.
Jaeyun di diagnosa mengidap demensia sekitar 5 tahun yang lalu. Awalnya karena mengeluh sering sakit kepala. Sempat dikira itu hanya sakit kepala biasa. Tapi, lama kelamaan Jaeyun mulai gampang lupa dan sering tertukar nama pasien, tentu saja itu akan berbahaya bagi pekerjaannya sebagai dokter bedah jantung, maka dari itu, Jaeyun memutuskan untuk memeriksa kenapa ia jadi sering pelupa dan tubuhnya sering lemas, saat diperiksa, barulah diketahui bahwa Jaeyun mengalami demensia. Jaeyun memutuskan untuk pensiun dini dari karirnya sebagai dokter.
Heeseung menyaksikan sendiri bagaimana perlahan Jaeyun melupakan semuanya. Hal-hal yang disukainya, orang-orang disekitar, dirinya, kenangan mereka berdua. Jaeyun terlihat seperti orang kebingungan setiap saat, ketika teman-temannya datang untuk menjenguk, ia tidak dapat mengingat sama sekali mereka. Begitupun ketika Ibu nya berkunjung, pertama-tama ia akan ingat, ia akan menyapa Ibunya dengan hangat, lalu setelah beberapa menit kemudian ia akhirnya akan lupa.
Pada awalnya Jaeyun di rawat jalan dirumah, melakukan check rutin kesehatan nya. Tetapi, perlahan, kesehatannya ikut menurun juga, tubuhnya hanya terduduk lemah di kasur, tidak banyak aktivitas yang bisa ia lakukan, jadi Heeseung memutuskan agar Jaeyun dirawat dirumah sakit, supaya dokter bisa mudah memantau kesehatan nya juga.
“Aku Heeseung,” suara Heeseung terdengar bergetar saat mengatakannya. “Aku suami kamu, Jaeyun.”
Jaeyun membeku menatap Heeseung. “Kamu suami aku? Heeseung?” Tangannya terulur, menyentuh wajah Heeseung. “Itu kamu? Lee Heeseung?”
Heeseung mengangguk. Ia memegang tangan Jaeyun yang sedang menyentuh wajahnya, mengecupnya dengan penuh kasih sayang. “Happy anniversary, sayang.”
“Lee Heeseung…” Jaeyun mengajak Heeseung untuk lebih dekat dengannya. “I remember you! Lee Heeseung, my husband! Heeseung!”
Heeseung mengangguk-angguk. Dia tersenyum meskipun masih tidak bisa menghentikan air matanya. “Iya sayang, ini aku.”
Jaeyun tersenyum. “You’re so handsome…” ucapnya penuh kagum.
Heeseung terkekeh. “Thank you, and you’re so beautiful, love.”
“Your voice… I heard it here.” Jaeyun menunjuk tape recorder di pangkuan nya. “This is your voice, right?”
“Yes, that’s my voice, I recorded our story, so you can remember it.”
“Thank you, Heeseung.” Jaeyun mendekat, ia mengecup pipi sang suami. “Happy anniversary, I love you.”
Heeseung termangu mendengar ucapan Jaeyun yang tiba-tiba itu. Tidak biasanya Jaeyun mengatakan kata terakhir itu. Mungkin karena merasa asing dengannya meskipun ingat. Hal tersebut tentu saja menjadi hadiah terindah untuk Heeseung di hari jadi pernikahan mereka. Harapan Heeseung terwujud, doa Heeseung supaya bisa mendengar Jaeyun mengatakan bahwa ia mencintainya akhirnya terkabul.
“I love you too, Sim Jaeyun.” Heeseung mencium kedua tangan Jaeyun dengan dalam. “I will always love you.”
Heeseung memandangi buku yang ia buat untuk Jaeyun. Buku itu bersampul hijau dengan foto mereka berdua, Heeseung memberi judul, ‘Dear Jaeyun, Please read this when you want to remember your story and our story’. Ia sengaja membuat biografi tentang Jaeyun, dibantu oleh mertuanya, lalu ia menambahkannya dengan kisah mereka berdua. Setidaknya, dengan adanya buku ini, Jaeyun tidak akan merasa asing di dunia ini, setidaknya ia dapat mengingat sesuatu, sebab setiap momen yang Jaeyun lalui adalah momen yang berharga. Jaeyun adalah orang yang menganggap setiap kenangan itu sangat berarti, ia suka Jaeyun yang seperti itu dan tidak ingin membuat sang suami lupa akan hal tersebut. Maka, dibuatlah buku khusus ini, ia memberikannya pada Jaeyun sebagai hadiah ulang tahunnya 5 tahun yang lalu.
Dia tertawa kecil membaca kata demi kata yang ada disana. Membayangkan setiap kenangannya. Heeseung paling suka saat pertemuan pertama mereka. Mereka memang dijodohkan saat itu, tapi Heeseung menyukai Jaeyun sejak lama, saat Jaeyun sering ikut dengan Ibunya ke acara yang diadakan keluarganya. Untung saja, Jaeyun menerima perjodohan ini dengan tulus. Heeseung tidak pernah membayangkan jika pernikahannya bukan dengan Jaeyun. Sebab ia sadar, ketika mengucapkan janji suci pernikahan, Heeseung hanya ingin Jaeyun sampai kapanpun, hanya ingin bersama Jaeyun sampai ia tidak punya waktu lagi di dunia ini.
Heeseung buru-buru mengusap matanya ketika tersadar ada air mata yang menetes ke atas buku. Dia hendak menutup buku itu, tetapi urung ketika melihat sebuah kertas yang keluar dari balik halaman terakhir. Segera ia mengambil kertas itu, lalu membacanya.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
Sim Jaeyun, 20–12–20**
Aku sudah baca buku ini. Semakin membacanya semakin aku merasa hidup aku ini sangat seru, sebelum aku melupakan semuanya. Tapi itu juga mengingatkan aku ternyata aku melupakan begitu banyak kenangan di hidupku. Aku melupakan semua orang. Aku melupakan diriku. Tapi yang lebih menyakitkan dari itu semua, aku melupakan suamiku yang sangat mencintai ku, Lee Heeseung. Dia pasti sedih karena aku sudah melupakannya.
Saat pertama kali dokter mengatakan bahwa aku memiliki demensia, hal yang pertama aku pikirkan adalah Heeseung. Aku berharap, aku tidak melupakan Heeseung. Aku tidak mau melupakannya. Dia benar-benar berarti segalanya untukku. Setidaknya, jika aku akan jadi pelupa, aku harap masih ada sisa-sisa kenangan bersama Heeseung yang akan selalu aku ingat. Apapun itu, meskipun hal itu sesederhana saat Heeseung tersenyum padaku. Ah, tapi itu tidak bisa menjadi hal sederhana bagiku, kenangan apapun tentang Heeseung sangat istimewa untukku.
Setiap waktu yang aku lalui bersama Heeseung, membuatku selalu tidak berhenti bersyukur. Heeseung begitu mencintaiku, memperlakukanku dengan baik, dia selalu mendengarkan pendapatku, selalu memanggilku penuh sayang, rela lakukan apapun untukku.
Aku pernah mendengarnya berkata, ‘aku akan berikan apapun untuk kamu, aku tidak akan ragu memberikannya, sebab aku mencintai kamu’, tentu saja itu membuatku berpikir, ‘Ah, pria ini rela berikan apa saja, apa yang bisa aku beri juga untuknya? Aku akan melupakan dia, mengapa dia sangat mencintai aku?’. Aku sempat marah kepada Heeseung karena hal itu. Aku… sampai berharap Heeseung tidak akan mencintai ku lagi.
Tapi, aku segera sadar, aku akan selalu membutuhkan Heeseung, aku mencintai nya. Aku begitu mencintainya, hanya itu yang bisa aku berikan padanya, cintaku. Sialnya, aku akan melupakan itu. Semakin mengingat itu semakin aku merasa bersalah kepada Heeseung.
Dia suka memandangi langit malam, terutama ketika bulan sedang bersinar. Menemani Heeseung melihat bulan adalah hal yang paling aku suka. Bulan bersinar cantik, tinggi diatas sana, membuatku berharap agar aku bisa titipkan cintaku untuk Heeseung kepada sang rembulan. Sebab, aku tidak ingin ini menghilang begitu saja dariku, cintaku untuk Heeseung, aku tidak mau melupakannya begitu saja. Heeseung selalu mencintai ku, tapi aku tidak punya cukup waktu untuk mencintainya.
Mungkin akan terkesan konyol, atau mungkin Heeseung sendiri akan merasa aneh. Tapi, tidak ada cara lain, aku berharap, ketika aku pergi, ketika aku meninggalkannya, Heeseung masih bisa merasakan cintaku. Karena Heeseung adalah suamiku, Heeseung adalah segalanya untukku, aku begitu mencintai Heeseung. Aku tidak bisa memberikan apapun padanya, tidak akan pernah bisa, yang bisa kuberikan kepada Heeseung hanya cintaku, perasaanku untuknya, sebab itu satu-satunya yang aku punya. Meskipun aku akan melupakannya, aku yakin, sang rembulan akan sampaikan perasaanku kepada Heeseung. Aku harap dia bisa merasakannya, saat aku tidak bisa menyentuh wajahnya lagi, tak bisa mengecup bibir nya lagi, tak bisa genggam tangannya lagi, aku harap dia bisa merasakan semua perasaanku yang aku titipkan pada sang rembulan.
Aku begitu mencintai Heeseung. Aku begitu mencintai nya.
Aku lega bisa menulis ini sesegera mungkin sebelum akhirnya aku lupa cara untuk menulis lagi. Aku lega bisa sampaikan perasaanku pada Heeseung disini sebelum aku lupa untuk menyampaikannya nanti.
Tertanda,
Sim Jaeyun.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
Usai membaca surat itu. Perasaan sesak muncul di hati Heeseung. Ia tidak sadar dengan air mata yang sudah berjatuhan membasahi surat itu. Kata demi kata yang dituliskan Jaeyun membuat batinnya terasa tersayat, tetapi disaat bersamaan, ia merasa bahagia, ia merasa lega, ia benar-benar merasa beruntung karena dicintai oleh Sim Jaeyun. Andai saja Jaeyun tahu, jika cintanya sudah lebih dari cukup untuk Heeseung.
Heeseung memeluk surat itu. Perlahan, ia terisak. Tidak ada yang lebih menyakitkan ketika melihat pasanganmu perlahan melupakan segalanya bahkan eksistensi dirinya sendiri. Heeseung merasa semakin jauh dengan Jaeyun. Seperti tali yang terus diulurkan, tetapi Heeseung terus berusaha menariknya hingga tali itu menjerat dirinya. Terkadang menimbulkan rasa sakit untuk hatinya, dan juga terkadang membuatnya hampa.
Heeseung mendongak, memandangi bulan yang bersinar terang malam ini dari balkon apartemen mereka. Jika Jaeyun tidak bisa mengingat seluruh dunia, ada dirinya yang akan selalu membuat Jaeyun ingat, meski harus seratus kali berucap hal yang sama. Tidak peduli seberapa sakit dan hampanya semua ini, Heeseung tidak akan berhenti menarik Jaeyun ke tepi ketika Jaeyun tenggelam di dalam lautan, tidak peduli sedalam apa, ia akan ikut tenggelamkan dirinya agar bisa tarik Jaeyun ke dalam dekapnya lagi. Sebab ia mencintai Jaeyun, lebih dari apapun.[]